NEMUKABAR.com – Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, terutama di industri makanan dan minuman. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, menyatakan bahwa meskipun sektor ini terus berkembang, tekanan biaya yang meningkat membuat industri menghadapi tantangan besar untuk tetap menghasilkan keuntungan.
"Persaingan semakin ketat, sementara harga bahan baku, energi, dan logistik naik drastis akibat faktor global, termasuk dampak geopolitik dan kondisi pembiayaan. Ini benar-benar menambah beban bagi industri makanan dan minuman,” ungkap Adhi dalam acara Pameran SIAL Interfood di JI-Expo, Jakarta.
Adhi meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN tersebut. Menurutnya, peningkatan PPN berpotensi memperburuk daya beli masyarakat yang hingga kini belum pulih sepenuhnya, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. "Jika PPN tetap naik, sektor industri, terutama makanan dan minuman, akan terpukul lebih keras," tambahnya.
Di tengah tekanan kenaikan biaya, pelaku usaha di sektor ini berupaya melakukan efisiensi tanpa harus memangkas jumlah tenaga kerja. Langkah efisiensi yang diambil, kata Adhi, cenderung terfokus pada peningkatan otomatisasi dalam proses produksi.
"Industri makanan dan minuman lebih cenderung ke efisiensi proses melalui otomatisasi daripada mengurangi banyak karyawan,” ujarnya.
Menurut Adhi, otomatisasi menjadi salah satu solusi utama untuk menjaga daya saing sekaligus mempertahankan harga yang terjangkau bagi konsumen.
"Dengan otomatisasi, banyak perusahaan dapat meningkatkan kapasitas produksi tanpa harus melakukan pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran. Ini membantu perusahaan lebih efisien di tengah kenaikan biaya,” jelasnya.
Adhi berharap pemerintah memberikan dukungan bagi industri untuk menavigasi situasi ini, baik melalui kebijakan fiskal yang tepat maupun insentif yang mendorong inovasi dan efisiensi.